Bontang Pos – Pengumuman mengenai susunan kabinet baru oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto akan segera dilakukan setelah pelantikan yang dijadwalkan pada Minggu, 20 Oktober 2024. Beberapa hari menjelang pelantikan, Prabowo telah aktif melakukan audiensi dan pembekalan di kediamannya yang berlokasi di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, serta di Hambalang, Jawa Barat.
Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memberikan sorotan terhadap para kandidat yang dipanggil oleh Prabowo untuk mengisi posisi menteri dan wakil menteri. Data menunjukkan bahwa sekitar 55,6 persen atau 60 dari 108 nama kandidat berasal dari kalangan politisi. Sementara itu, profesional dan teknokrat hanya mencakup 15,7 persen atau 17 orang. Kalangan militer dan kepolisian (TNI/Polri) menyumbang 8,3 persen, diikuti pengusaha 7,4 persen, tokoh agama 4,6 persen, dan selebriti 2,8 persen. Sangat sedikit akademisi yang terlibat, hanya sekitar 5,6 persen dari total kandidat.
Lebih jauh, CELIOS mencatat bahwa di antara politisi tersebut, sebanyak 45 kandidat memiliki afiliasi dengan partai politik. Partai Gerindra mendominasi dengan 26,7 persen atau 12 kandidat, diikuti Partai Golkar dengan 24,4 persen atau 11 orang. Sementara itu, Partai Demokrat, PAN, dan PKB masing-masing mendapatkan jatah 8,9 persen atau 4 kandidat.
Peneliti CELIOS, Galau D. Muhammad, menyampaikan kritik terhadap komposisi ini, yang dinilai dapat menimbulkan kekecewaan, baik dari sudut pandang moral maupun ekonomi. Ia mengkhawatirkan bahwa pembagian jabatan yang terlalu luas dapat meningkatkan risiko pemborosan anggaran. “Menteri yang diangkat akan meningkatkan belanja negara, termasuk gaji staf pendukung, pengadaan mobil dinas, fasilitas kantor, dan gaji pensiun bagi menteri dan wakil menteri,” jelas Galau dalam pernyataannya, Kamis (17/10).
Galau menegaskan bahwa meningkatnya beban anggaran ini berpotensi memperburuk kondisi fiskal yang sudah rentan, terutama dengan jatuh temponya utang pemerintah dan penurunan penerimaan pajak. Ia bahkan memproyeksikan potensi pembengkakan anggaran mencapai Rp1,95 triliun dalam lima tahun ke depan, belum termasuk biaya pembangunan gedung dan fasilitas baru bagi kementerian tambahan.
Senada dengan Galau, peneliti CELIOS lainnya, Achmad Hanif Imaduddin, juga memperingatkan dampak negatif dari kabinet yang terlalu gemuk. Ia menekankan bahwa selain pemborosan fiskal, hal ini juga dapat memperlebar ketimpangan ekonomi. “Meskipun gaji menteri relatif kecil dibandingkan dengan jabatan lain, posisi ini bisa berimplikasi luas, seperti kenaikan nilai saham perusahaan yang dimiliki menteri berkat akses kekuasaan yang dimiliki,” ungkap Hanif.
Hanif menambahkan bahwa situasi ini berpotensi menciptakan ketimpangan baru di masyarakat, di mana para pejabat dapat meraih keuntungan ganda, baik melalui jabatan publik maupun aktivitas bisnis pribadi.
Sebelumnya, Prabowo berargumen bahwa sebagai negara besar, Indonesia memerlukan banyak menteri untuk memastikan pemerintahan berjalan efektif. Namun, CELIOS menilai klaim tersebut perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan perbandingan internasional. Di Amerika Serikat, yang memiliki populasi sekitar 346 juta orang, terdapat hanya 15 departemen setingkat kementerian. China, dengan lebih dari 1,4 miliar jiwa, memiliki 21 kementerian.
Sementara itu, Indonesia, dengan populasi sekitar 275 juta, memiliki 46 kementerian, jauh lebih banyak dibandingkan kedua negara tersebut. Menurut Hanif, fakta ini menunjukkan bahwa penambahan jumlah kementerian tidak selalu berarti peningkatan efisiensi dan efektivitas. Sebaliknya, birokrasi yang terlalu besar justru dapat menciptakan inefisiensi dan membebani anggaran negara.